Resensi Novel Negeri 5 Menara3/29/2021
Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinyayang juga wartawan Tempoadalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan.Diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada bulan juni tahun 2017 (cetakan pertama edisi terbaru).
SINOPSIS BUKU NEGERI 5 MENARA Seumur hidupnya Alif tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, main bola di sawah dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba dia harus melintasi punggung Sumatera menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah ibunya: belajar di pondok. Di hari pertama di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan mantra sakti man jadda wajada. Di bawah menara masjid, mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak ke ufuk. Awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ditulis oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO VOA, penerima 10 beasiswa luar negeri, penyuka fotogra, dan terakhir menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University dan Royal Holloway, University of London ini kini sibuk menulis, menjadi public speaker, serta mengasuh yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia dini yang kurang mampu-Komunitas Menara. PROFIL PENULIS BUKU NEGERI 5 MENARA Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, man jadda wajada, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses. Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University.
0 Comments
Leave a Reply.AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |